Anda tanya kenapa, saya jawab karena
Sebelumnya ijinkan saya mengucap syukur Alhamdulillah, kepada Dzat Yang Maha Agung, pemilik semesta raya.
Atas izin-Nya, saya kembali mendapatkan anugerah, pagi buta ini.
Alhamdulillah, Alhamdulillah..
Pilihan, memilih, dipilih, dan terpilih, adalah hal yang wajar dalam hidup, bahkan mutlak adanya.
Hari ini saya dihadapkan pada dua buah pilihan. Saya wajib memilih salah satu di antaranya. Karena saya telah dipilih. Dan pasti Allah yang telah menggariskan sehingga saya terpilih.
Mari kita akhiri kekakuan ini pada paragraf selanjutnya.
Universitas Sebelas Maret, Fakultas Kedokteran, Prodi Pendidikan Dokter.
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
Keduanya bukanlah cita-cita saya, karena memang saya tak pernah punya cita-cita selain ingin menjadi Astronot. Awkawkawk. Tapi keduanya adalah takdir saya, yang kelanjutannya harus saya putuskan sendiri. Hal yang sangatlah berat bahkan dalam hal kecil sekalipun, me-mi-lih. Berat karena berisiko, berat karena penuh pertimbangan, berat karena harus ada pengorbanan, berat karena harus ada keikhlasan, dan berat karena banyak suara-suara asing di sekitar.
Memilih sekolah mana yang akan saya tuju, dalam kaca mata saya, persis seperti mendengarkan lantunan bass di antara bunyi-bunyian instrumen lain dalam lagu Kembalilah Kasih - GIGI (kyaaaa, GIGI maning GIGI maning).
Bass. Instrumen lima senar, berkarakter suara rendah dan berat.
Ketika saya memutar lagu Kembalilah Kasih, kemudian saya diam. Mengarahkan indera pendengaran hanya kepada satu instrumen yaitu bass, di antara dominannya vokal Armand Maulana, mengalunnya petikan gitar Dewa Budjana, teraturnya tempo pukulan Gusti Hendy pada drumnya, dan harmonisnya permainan jari Indra Lesmana pada pianonya. Sangatlah sulit. Menemukan "apa" yang dimainkan oleh Thomas Ramdhan. Memperhatikan salah satu, mengabaikan yang lainnya. Hanya terdengar samar-samar rythm gitar lima senar. Tapi ketika mengakhiri refrain ke-2, saya menemukannya ! I get it. Di saat Armand tak mengucapkan lirik, di saat Dewa Budjana memberi petikan minimalis, dan di saat Gusti Hendy menuntun tempo hanya dengan bass drum dan symbal. Thomas Ramdhan, beliau tampil dengan melodi bassnya. Indaaaaaah, jelas, tak samar-samar.
Begitulah analogi saya. Lagu sebagai kehidupan. Dentuman bass sebagai hasrat & tujuan saya. Ketukan drum sebagai tuntunan dari kedua orang tua saya yang selalu memimpin tempo agar semua instrumen kehidupan ini berjalan beriringan, nggak balapan. Selain itu, suara-suara lain itu, adalah orang-orang di sekeliling saya dengan segala dukungan, argumen, pendapat, masukan, sanggahan, bantahan.
Ada kalanya tujuan saya tak bisa didengar sama sekali, berfrekuensi rendah, tidak mendominasi, minim sekali. Itulah di saat semua instrumen bersuara, orang-orang berkata ini itu, dan saya nyaris diam. Tapi ketika tiba saatnya yang lain diam, hanya ada pengatur tempo (kedua orang tua saya), memberikan keleluasaan kepada saya untuk bereksplorasi, memainkan sendiri melodi hasrat saya, bebas dan lepas. Saat inilah saya mendengar jelas, bagaimana bunyinya, seperti apa kemauan saya, mana yang menjadi tujuan saya. Lalu perlahan, yang lain kembali memainkan perannya, kembali beriringan, sampai lagu tersebut selesai.
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, tunggu aku di Jakarta :)
Begitulah analogi saya. Lagu sebagai kehidupan. Dentuman bass sebagai hasrat & tujuan saya. Ketukan drum sebagai tuntunan dari kedua orang tua saya yang selalu memimpin tempo agar semua instrumen kehidupan ini berjalan beriringan, nggak balapan. Selain itu, suara-suara lain itu, adalah orang-orang di sekeliling saya dengan segala dukungan, argumen, pendapat, masukan, sanggahan, bantahan.
Ada kalanya tujuan saya tak bisa didengar sama sekali, berfrekuensi rendah, tidak mendominasi, minim sekali. Itulah di saat semua instrumen bersuara, orang-orang berkata ini itu, dan saya nyaris diam. Tapi ketika tiba saatnya yang lain diam, hanya ada pengatur tempo (kedua orang tua saya), memberikan keleluasaan kepada saya untuk bereksplorasi, memainkan sendiri melodi hasrat saya, bebas dan lepas. Saat inilah saya mendengar jelas, bagaimana bunyinya, seperti apa kemauan saya, mana yang menjadi tujuan saya. Lalu perlahan, yang lain kembali memainkan perannya, kembali beriringan, sampai lagu tersebut selesai.
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, tunggu aku di Jakarta :)
Beberapa waktu yang lalu lalu lalu, sampai sekarangpun masih ada yang menanyakan "kenapa ?". And this is the reason.
Pertama. Ini adalah tahun ke-8 untuk GIGI Band bekerja sama dengan Djarum Coklat mengadakan tour ngabuburit. Kota kelahiran saya, Cilacap, mendapat jatah pada 7 Agustus. Sedangkan pembukaan ospek atau pelantikan mahasiswa baru UNS adalah tanggal 8 Agustus, paling tidak saya harus berangkat sehari sebelum kegiatan. Nggak mungkin saya melewatkan this golden chance, setelah bertahun-tahun GIGI nggak ke cilacap. I've to meet them, I've to see my hero GIGI in my hometown ! (oke alasan ini konyol).
Kedua. Ibu mengkhawatirkan saya. She said "kamu, liat mama kecelakaan aja nggak tega, nungguin di rumah sakit aja pusing, siapkah mentalmu jadi dokter ? mama samar-samar." Deziiiiiiiig. O iya, saya ini sedikit takut darah. Trus kenapa saat SNMPTN memilih jurusan yang sama ? Sama-sama kedokteran, kenapa ? Karena saya tak tau lagi, jurusan apa yang harus saya pilih. Sejak SMP Bapak membentuk pribadi saya sebagai calon mahasiswi Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) dan mengerucut pada STAN. Beliau anti dengan universitas negeri biasa. Bahkan saya mengikuti jalur-jalur masuk PTN dan PTS bukan karena ingin jadi dokter, saya takut tidak mendapatkan sekolah, saya merasa mungkin tak cukup mampu memenuhi semua keinginan Bapak. Sampai-sampai saya mendaftar 10 perguruan tinggi. Itu sepenuhnya mewakili rasa takut saya selama ini. Inipun saya tidak bisa leluasa memilih. Beliau hanya memandang jurusan-jurusan "yang pasti". Kalian pasti paham maksudnya. Kedokteran, akuntansi, nggak jauh-jauh dari itu. How come ? Ini sama saja sulitnya. Dan akhirnya saya membentuk cita-cita baru saya semenjak SNMPTN Undangan, jadi dokter. Padahal di saat kelas XI, saya anti sekali dengan jurusan kesehatan. Saat kecil saya takut melihat orang berbaju putih di rumah sakit, bahkan tukang pel sekalipun. Ini rahasia antara saya dan kalian ya. Huahahahaha. (alasan kali ini cukup mendukung bukan ? walaupun aneh -_-)
Ketiga. Bapak sangat cinta dan perhatian kepada saya. Beliau tidak ingin melihat anaknya terlunta-lunta mencari pekerjaan ke sana ke mari setelah lulus kuliah. Ini juga salah satu alasan, kenapa Bapak sangat pilih-pilih jurusan. Masuk akal, walaupun sedikit menekan. Untuk itu, beliau mengarahkan saya pada PTK, supaya saya tidak kebingungan nantinya. Saya memahami ini. Ada 3 pilihan setelah lulus kedokteran umum. Pertama, mendaftar CPNS, lumayan sulit. Kedua, buka klinik, butuh modal. Ketiga, lanjut spesialis, lebih merogoh kocek dalam-dalam. Untuk masalah biaya, sebenarnya Bapak dan Ibu telah jauh-jauh hari memikirkannya. Meskipun kami dari kalangan keluarga menengah ke bawah, orang tua saya tak pernah gentar untuk menganggar biaya pendidikan anak-anaknya. Menjual harta benda sekalipun, mungkin akan mereka lakukan jika perlu. Tapi saya tak ingin seperti itu (saat mengetik kalimat ini, mata berkaca-kaca). Cukup sudah saya menjadi tanggungan mereka sampai sekarang ini. Tidak ingin meletakkan lebih banyak beban di pundak mereka. Memang benar Kedokteran UNS sangat sangat sangaaaaat muraaaaah sekali. Uang registrasi pun sama dengan jurusan-jurusan lain di PTN lain, bahkan lebih rendah. Tapi saya tidak bisa menspekulasikan nasib saya kelak, apakah saya akan memeras kantong lagi atau tidak. Kalau ada yang lebih jelas (jelas gratis) kenapa enggak ? Wakakakakak.
Keempat. Peluang masuk FK UNS dan STIS hampir sama. UNS dengan pendaftar kedokteran mencapai 4900an dan yang diterima sekitar 100an, 1:49. Awalnya saya tidak melihat peminat di UNS, maka dari itu saya beranikan diri karena ada kakak kelas yang bisa masuk di sana juga lewat SNMPTN. Tapi setelah liat peminatnya, Ya Allah Gusti, kulo pasrah. Kenapa nggak ambil UGM aja yang peminatnya mungkin 2000an ? Benar-benar kusut mbleketut wajah saya saat itu, tapi seperti biasa ibu selalu mengembalikkan nyawa saya, hahaha. Sedangkan pendaftar STIS di seluruh Indonesia ada 22.000 lebih, dan semua harus dari jurusan IPA. Pada akhirnya hanya diambil sekitar 380an, 1:50. Sama-sama berat. Tapi saya lebih merasakan beratnya saat tes STIS. Kenapa ? Tes ini punya 3 tahap. Pertama tertulis. Jika lolos, maka akan psikotes dan wawancara. Nah, di sela-sela penantian pengumuman wawancara, saya telah mengantongi UNS. Saat itu jujur saya sangat pesimis. Karena proses wawancara tidak berjalan lancar, cenderung gagal. Awkawkawk. Banyak pertanyaan serius yang hanya saya tanggapi dengan "maaf bu, saya lupa", "maaf bu, saya kira cuma itu saja", "maaf bu, saya lupa lagi". Sigh. Maka dari itu, saya berani memantapkan diri di UNS, karena saya telah putus asa, pesimis, nggak yakin sama sekali, malah nggak mau mengingat-ingat, hahahaha. Jadi secara tantangan, lebih menantang STIS. Dalam proses belajar juga akan menantang, karena menerapkan sistem DO bagi mahasiswa yang tidak memenuhi IPK minimal per semesternya. Selain itu, saya harus hidup di ibu kota sebatang kara. Ada untungnya juga sih, saya jadi lebih deket sama GIGI, haha mudah-mudahan yah. Bukan berarti di UNS tidak ada tantangan. Karena saya telah mengatakan, saya kurang suka dengan darah dan rumah sakit. Setelah lulus juga tidak dapat bersantai-santai, harus mandiri. Tidak seperti di STIS, lulus langsung PNS dengan gaji sekian dan tunjangan-tunjangan fungsional sekian. Karena ikatan dinas, per bulan akan di jatah 850ribu untuk mahasiswa semua tingkat, bahkan rumornya taun ini akan naik menjadi 1,2jt. Wahahahaha. Lumayan, apalagi ditambah uang bulanan dari orang tua. Pokoknya buat hura-hura aja, karena sekolah 100% grateeeees. Begitulah kalau menyinggung soal materi. Lagipula lulusan STIS yang bergelar S.S.T. atau Sarjana Sains Terapan tidak seperti PNS lain. Yang ini lebih elit. Huaha, saya juga belum tau persisnya seperti apa. Yang jelas saya nantinya akan jadi wanita kantoran, awkawkawk. Saya juga telah siap dengan segala konsekuensinya, karena saya harus bersedia ditempatkan di manapun di wilayah Nusantara ini. Tapi bukan masalah besar. Karena pegawai BPS adalah pegawai pusat, jadi masih bisa mutasi, dan nggak mungkin ditempatkan di pelosok. Kalo saya jadi dokter, mungkin saya bisa ditempatkan di pelosok antah berantah :P
Kelima. Gedung STIS sangatlah keren. Enam lantai dengan 2 armada lift. Sedangkan FK UNS emmmm, keren juga sih, saya suka tulisan "Fakultas Kedokteran" di depan gedung FK. Tapi... Hahaha. (alasan ini sedikit iuuuwh)
Kalau saya mau, saya bisa saja berangkat pelantikan UNS tanggal 8 Agustus.
Kalau saya mau, saya bisa saja memasuki gerbang UNS dengan langkah tegap mengenakan jas biru muda.
Dan kalau saya mau, saya bisa saja menjadi keluarga Atmowiredjo pertama yang menjadi dokter, atau saya bisa saja menjadi dokter pertama di kompleks tempat saya tinggal.
Begitu banyak kemungkinan.
Hanya saja, pilihan saya jatuh kepada Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Atas alasan-alasan yang telah saya ceritakan tadi. Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahiim, saya melangkah menuju hasrat & keinginan saya. Wish me luck :)
Thanks to : Allah SWT dan semua orang di sekeliling saya
Sorry to : Semua jiwa-jiwa yang telah tersakiti (lho), hehe.
i like it..
BalasHapusortunya seperti ortuku