Infrastruktur Teman Baik Harga
Jalan tidak untuk dimakan
Beberapa hari yang lalu, seperti anak milenial pada umumnya, saya berselancar di sebuah media sosial, kemudian menemukan kalimat opini kira-kira seperti ini "pemerintah zaman sekarang sibuk hutang ke luar negeri untuk membangun jalan, yang merasakan cuma kalangan berada, rakyat kecil tidak merasakan apa-apa karena mereka tidak makan aspal jalan". Hm... Apakah benar pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat? Apakah langkah pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas pembangunan pemerintah saat ini kurang tepat untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional? Mungkin bahasa gaulnya: Ngaruh nggak sih? Rakyat bisa sejahtera-bahagia nggak sih? Karena semua orang menginginkan kebahagiaan, seperti dirimu yang ingin bahagia bersamanya, eits.
Saya lumayan
yakin topik bahasan seperti ini dipandang kurang menarik. Sudah tahu tidak
menarik tapi kenapa mau bahas? Begini lho, menurut saya generasi
kita ini sudah merasa “capek” duluan dengan tetek bengek urusan
negara, apalagi di musim dengan hawa politis lima tahunan yang sedang berhembus
kencang akhir-akhir ini. Sepertinya orang-orang mudah sekali mengaitkan apapun
dengan preferensi politik. Hal-hal seperti ini yang kadang bisa membuat anak
muda kita “pesimis”. Memikirkan pekerjaan, cucian, dan skin care saja
tak kunjung usai, apalagi persoalan yang dampaknya terlihat sangat klise bagi
rakyat biasa macam kita, ye kan?
Tapi, hey kawan, sebagai insan berpendidikan yang 20 persen dananya dikucurkan
dari APBN (beken disebut uang negara) apakah kita tidak merasa ingin tahu
dengan kinerja negara kita? Coba kita saring sejenak rasa jenuh pada
pernak-pernik persaingan politik yang terdengar bising itu, kita tengok sedikit
perihal negeri yang kita harapkan sejahtera ini.
Disclaimer: bahasan kali ini tentunya dari sudut pandang
saya sebagai kaum muda dengan pengalaman dan pengetahuan yang seadanya. Selanjutnya mulai serius.
Membangun dengan data
Bicara pembangunan
infrastruktur, berarti bicara kebijakan pemerintah. Seberapa besar porsi uang
negara yang akan diperuntukkan bagi pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas
lainnya. Dalam lingkup daerah uang ini dikenal dengan Anggaraan Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Sumber utamanya adalah pendapatan asli daerah yang di
dalamnya ada pajak. Sumber lainnya yaitu
dana perimbangan dari pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU), dan pendapatan lain seperti
dana hibah. Maka sangat maklum ya kalau rakyat banyak yang bersuara kritis
dengan pemanfaatan dana ini, karena sebagian uang mereka ada di dalamnya dan rasa
memiliki masyarakat kita ini ternyata cukup besar seperti rasa memilikimu
terhadapnya. Kita apresiasi dulu masyarakat yang beropini (termasuk yang
saya ceritakan di awal), itu tandanya ada perhatian kepada pemerintahnya. Kalau
perhatian dari dia gimana? Eits.
Sementara itu, ketika
bicara kebijakan pemerintah, maka tidak bisa lepas dari yang namanya data. Segala
jenis perencanaan, termasuk perencanaan pembangunan memerlukan bermacam data
statistik sebagai dasar berpijak. Karena pembangunan tanpa data bagaikan
hubungan yang berjalan tanpa arah dan tujuan, semoga tidak dengan hubungan
kalian. Dengan data yang menjelaskan kondisi-kondisi negara kita saat ini,
tentu pembangunan menjadi terarah, apa saja yang sudah berjalan baik, apa yang perlu
dibenahi, sehingga pembangunan dapat berjalan tepat sasaran.
Lalu, bagaimana
dengan pembangunan jalan yang dipermasalahkan? Jalan itu apa sih? Jangan-jangan
kita belum kenal baik nih dengan jalan, yang kita tahu hanya medan keras berlapis
aspal untuk sekedar lewat, tidak bisa dimakan, tidak membuat perut kenyang.
Jalan adalah media yang langsung maupun tidak langsung kita gunakan setiap hari. Secara langsung ketika berangkat ke kantor, beli jajandi Indomaret,
dan main ke rumah teman. Secara tidak langsung bagaimana ya ? Kita ambil contoh
kecil saja, sarapan apa kita pagi ini ? Oke, ada yang menyebutkan pisang goreng.
Coba tarik mundur proses transformasi pisang hingga menjadi pisang goreng yang
masuk ke mulut manis para pengumbar janji. Pisang perlu dimasak
menggunakan bahan-bahan seperti: pisang tentu saja, tepung terigu,
gula, dan garam. Jika ingin lebih renyah tambahkan tepung beras
secukupnya menurut takaran Ibu Siska Soewitomo. Bahan-bahan
tersebut, yang utama misal pisang Kepok, tentu tidak bisa terbang dengan
sendirinya dari petani ke penjual pisang goreng. Ada satu proses yang dinamakan distribusi, atau kegiatan pemasaran untuk memperlancar dan mempermudah
penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen. Dari petani ke
pengepul, dari pengepul ke pasar, dari pasar ke dapur penjual pisang goreng.
Jalan adalah media yang langsung maupun tidak langsung kita gunakan setiap hari. Secara langsung ketika berangkat ke kantor, beli jajan
Ngaruh nggak sih?
Proses distribusi di Indonesia punya tantangan yang tidak
sedikit. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa kesulitan distribusi
mempengaruhi harga suatu barang. Kita sudah tahu bahwa negara ini berbentuk
kepulauan, kaya sekali dengan keberagaman, mulai dari suku, ras, agama, budaya,
hingga kondisi geografisnya. Kondisi geografis inilah yang rupanya punya andil
besar dalam pembentukan harga barang-barang. Segala jenis barang melalui proses
distribusi ini, baik barang-barang hasil industri atau pabrikan yang awet,
maupun barang-barang cepat rusak atau busuk seperti hasil pertanian. Proses
ditribusi sangatlah mungkin mempengaruhi harga kedua jenis barang. Misalnya untuk
barang pabrikan seperti cat tembok, ketika jalan dari produsen ke toko material
sangat rusak, kaleng cat terkadang bocor di tengah jalan, akibatnya pedagang
harus menaikkan harga untuk menutup modal. Contoh lainnya pada hasil pertanian
seperti cabai, jika jarak tempuh dari petani ke pedagang terlalu jauh sedangkan
musim hujan telah tiba, tidak menutup kemungkinan cabai lebih dulu layu atau bahkan membusuk sehingga
sebagian terbuang. Untuk menutup modal, maka cabai yang masih segar dijual dengan
harga yang lebih tinggi, sedangakan cabai yang rusak dijual dengan sangat murah atau dibuang.
Fenomena seperti ini masih banyak ditemui di luar kota-kota besar di negara
kita. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah dengan kondisi geografis yang sulit
jika tidak dibarengi dengan infrastruktur yang baik dan memadai, dapat berimbas
pada tingginya harga-harga barang di wilayah tersebut dan sekitarnya, sehingga
ketimpangan dapat terjadi jika dibandingkan dengan wilayah lain.
Jika membandingkan kondisi kabupaten di Pulau Jawa dan Papua, ketimpangan yang sangat nyata bisa terlihat dari harga barang-barang yang dijual. Menurut keterangan Bupati Puncak, harga semen di Kabupaten Puncak akhir tahun 2017 masih berada di kisaran Rp 1.050.000,- per zak ukuran 50 kg, 20 kali lipat dibanding harga semen di Pulau Jawa, perbandingan yang tinggi bukan main meskipun sudah turun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 2.000.000,- per zak. Mengapa bisa sampai semahal itu? Semen didatangkan dari luar pulau terutama Kota Makassar karena tidak ada pabrik semen di Papua. Penyebab yang sangat jelas yaitu karena sulitnya distribusi barang, akibat infrastruktur jalan yang kurang mendukung kondisi geografis yang berbentuk pegunungan. Akhirnya pengangkutan dilakukan melalui jalur laut dari Kota Makassar dan jalur udara dari Jayapura, lagi-lagi biaya angkutlah yang berperan besar dalam pembentukan harga. Jika untuk membeli semen saja harus menghabiskan sekian banyak rupiah, bagaimana untuk membangun infrastruktur yang utuh?
Sumber: BPS, 2018 |
Badan Pusat Statistik mencatat tingkat kemahalan untuk
membangun suatu konstruksi di suatu kabupaten/kota dalam suatu indeks yang dinamakan Indeks Kemahalan Konstruksi
(IKK). Mengutip figur IKK tahun 2018, angka tertinggi memang disandang oleh Kabupaten
Puncak yang berada di Provinsi Papua. Dengan IKK sebesar 498,98 dapat diartikan
bahwa untuk membangun suatu konstruksi di Kabupaten Puncak membutuhkan biaya
yang lebih besar dari kota acuan (Kota Semarang) yaitu sebesar 498,98 persen atau 4,98 kali
lipat. Angka ini masuk akal jika kita menengok proses distribusi di lapangan yang telah dijelaskan sebelumnya. Tidak hanya bahan material dan barang pabrikan lainnya, alat berat yang digunakan untuk membangun pun diangkut menggunakan helikopter. Biaya mobilisasi alat berat ini terkadang lebih tinggi daripada biaya untuk menyewa atau membeli alat berat baru, sehingga tak jarang alat-alat berat ditinggalkan begitu saja setelah selesai digunakan. Namun jangan bersedih, negara ini sudah mempertimbangkan arah pembangunan yang lebih merata dengan menjadikan IKK sebagai salah satu faktor penentu nilai Dana Alokasi Umum (DAU) yang akan diterima oleh daerah. Semakin tinggi IKK suatu Kabupaten/Kota, maka semakin tinggi pula DAU yang diterima. Tentu saja kita semua berharap seiring berjalannya waktu, wilayah-wilayah yang mendapatkan support dana yang besar akan terus mengalami perkembangan secara infrastruktur diikuti dengan perbaikan harga-harga barang, hingga akhirnya ketimpangan tidak lagi ada. Jika tidak menunjukkan perubahan, barulah perlu dilihat lebih dalam, apakah pembangunannya kurang tepat sasaran atau ada hambatan.
Melihat
kenyataan tersebut, langkah-langkah pembangunan pemerintah dalam
memprioritaskan pembangunan jalan pada dasarnya telah memiliki landasan yang
masuk akal. Yang terkadang
dipersoalkan oleh masyarakat adalah “kenapa melulu membangun jalan”. Apalagi
telah ditetapkan besaran belanja infrastruktur pada RAPBN 2019 sebesar Rp 402,5
triliun dari total Rp 2.461,1 triliun. Baiklah, jangan bersedih, infrastruktur
ternyata memang bukan hanya terdiri atas jalan. World Bank membagi
infrastruktur menjadi tiga bagian, yaitu infrastruktur ekonomi, infrastruktur
sosial, dan infrastruktur administrasi. Jalan raya termasuk dalam infrastruktur
ekonomi karena dapat menunjang aktivitas ekonomi, sedangkan sarana pendidikan, kesehatan,
dan perumahan termasuk dalam infrastruktur sosial. Jika boleh memilih, mungkin
kebanyakan masyarakat yang kurang "sreg" dengan kebijakan pembangunan jalan akan
lebih memilih pembangunan infrastruksur sosial seperti
perumahan, sekolah, dan rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya, karena lebih bisa dirasakan manfaatnya secara
langsung oleh masyarakat dengan kebutuhannya yang sangat
tinggi karena jumlah penduduk dan luas wilayah Indonesia yang begitu besar. Namun pada kenyataannya untuk membangun infrastruktur
sosial juga dibutuhkan dukungan infrastruktur fisik seperti jalan, setidaknya untuk menekan harga barang, lebih jauh lagi dapat membuka akses menuju daerah-daerah terisolir sehingga memperlancar aktivitas ekonomi, kemudian berdampak pada peningkatan pendapatan daerah juga masyarakat. Tidak ada salahnya kita berpikir positif dan memandang lebih
luas terhadap perencanaan pembangunan negara kita yang luas ini. Bahwa
pembangunan jalan merupakan langkah awal yang akan berpengaruh untuk kelancaran
pembangunan-pembangunan lain. Selanjutnya, apa saja yang harus dibangun setelah
jalan-jalan tersebut, tentu harus direncanakan dengan merujuk kembali pada
data yang ada.
Rakyat bisa bahagia-sejahtera nggak sih?
Apakah kebahagiaan dan kesejahteraan masih terdengar klise juga di telinga kita? Setidaknya, kita sudah punya alat ukur kebahagiaan dan kesejahteraan. Mengutip data lain dari BPS, hasil survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) menunjukkan Indeks Kebahagiaan Indonesia Tahun 2017 mencapai
70,69 pada skala 0-100, artinya kita cukup bahagia, teman. Menurut laporan ini, dimensi keharmonisan keluarga
(indikator kepuasan hidup sosial) memiliki nilai yang paling tinggi sebesar
80,05. Sementara itu, dimensi pendidikan dan keterampilan dengan skor 59,9
mendapatkan skor terendah. Dapat disimpulkan, masyarakat kurang bahagia pada
dimensi pendidikan dan ketrampilan. Maka, setelah pembangunan jalan dapat
dipertimbangkan pembangunan sarana pendidikan dan keterampilan sebagai
prioritas selanjutnya.
Sumber: BPS, 2018 |
Sementara itu,
tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam
upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). Pada tahun 2017 IPM Indonesia mencapai 70,81 yang berarti masuk kategori tinggi. Namun, jika dibandingkan antar provinsi, masih terlihat ketidakmerataan terutama di Papua yang masih berkategori rendah. Lalu bagaimana agar IPM meningkat?
Averiana dalam penelitiannya pada tahun 2013 menyatakan bahwa ketersediaan
infrastruktur air, listrik, sekolah, dan
kesehatan berpengaruh signifikan dan positif terhadap kesejahteraan masyarakat
di daerah-daerah di Indonesia yang diukur dengan IPM. Infrastruktur listrik
memiliki pengaruh paling besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian, pembangunan infrastruktur listrik atau pembangkit energi dapat pula
menjadi pertimbangan prioritas pembangunan yang akan datang terutama di Papua yang memiliki angka IPM rendah. Menurut penuturan Presiden, memang pada akhir 2017 masih terdapat 2.000 desa di Papua yang belum dialiri listrik.
Indikator-indikator tersebut tentu hanya sebagian dari yang kita punya. Saya pikir kesediaan kaum muda untuk sekedar melek dan melirik figur-figur negara ini akan turut berperan dalam pembangunan yang lebih baik. Apalagi mereka-mereka yang belum terbebani masalah menghidupi keluarga, menyekolahkan anak, ataupun ngemong cucu, ya kan? Namun demikian, semoga semua disegerakan.
Akhir kata, salam manis.
Yups, benar sekali mbak. Semua pembangunan itu harusnya berdasarkan data ya mbak. Biar lebih jelas ke mana arah pembangunannya. Selamat ya mbak menjadi pemenang lomba blog inovasi membangun desa.
BalasHapusTerima kasih ya mbak :)
Hapus