Postingan

Aku adalah budak

Aku adalah budak bagi yang mengajarkanku satu huruf. Ia orang tua bagi ruhku, membentuk jiwaku. Ia yang paling berhak di antara mereka yang berhak atas kewajibanku. Ia wajib dihadiahkan kemuliaan, karena sebab sehuruf. Ia, abu ruh.

Tidak ada seorangpun yang berhak

Ternyata bukan amal yang akan mengantarkan aku ke surga. Amal dilakukan bukan untuk diandalkan. Aku tidak berhak percaya diri masuk surga karena amalku. Karena rahmatMu lah.

Sampai kapan kamu

"Lagi di mana?" "Di Lotte." "Sama siapa?" "Sendiri, lah..." "Mau sampai kapan kamu pergi-pergi sendiri terus?" Di kesempatan selanjutnya: "Di mana?" "Makan di luar." "Sama siapa?" "Rahasia..." "Hmmm." Perbincangan dengan wanita yang lebih sering meneleponku daripada menerima telepon dariku. Menyadari salah satu kebiasaan: daripada dilempari pertanyaan yang sulit dan tidak diketahui jawabannya, lebih baik mulai memberikan kejutan dan penasaran, mengarahkannya pada satu jawaban meski mungkin kenyataannya tidak demikian.

Mudik kedelapan

Pukul 15.00 sore, saya bersiap menuju Stasiun Gambir dari kantor yang jaraknya lebih kurang 3 kilo meter. Kereta dijadwalkan berangkat pukul 16.00. Begitu keluar pintu gerbang, saya langsung menuju pangkalan bajay dan menaikkan koper kecil, "Gambir ya, Pak". Baru berjalan 10 detik, tiba-tiba hati saya galau, bukan karena mau ditinggal nikah, bukan juga karena tak kunjung lamaran. "Waduh, kayaknya flashdisk ketinggalan", ternyata benar. Akhirnya saya minta abang bajay melipir dan menunggu sejenak, saya kembali lagi ke kantor meskipun sudah pamit dan bersalam-salaman, enyahlah rasa malu. Kembali meluncur ke Gambir, berjalan dari pintu masuk lumayan jauh untuk membakar lipatan perut dan mengurangi pelebaran pipi serta dagu. Menuju ke mesin check-in untuk cetak boarding pass , tiba-tiba keluar pesan di layar "kode booking kadaluarsa", mak deziiiing. " Please , jangan drama sekarang", coba lagi masukkan kode booking , lalu keluar juga boarding

Belajar mengenal diri sendiri: Ketika sakit

Kalender di atas meja kerja sudah penuh lingkaran dalam seminggu terakhir. Mulai dari batas-batas waktu pekerjaan, rapat di luar jam kerja, janjian dengan dokter gigi, janjian dengan teman, perpisahan dengan beberapa rekan kerja juga sahabat dekat. Pulang terlalu malam, berangkat pagi terlambat, pulang malam terulang, kamar berantakan dan cucian menumpuk. Bisa jadi kondisi ini sudah masuk kategori kurang sehat versi on my spot. Menjelang akhir pekan tenggorokan terasa tidak seperti biasa, badan sedikit tidak nyaman, baiklah sepertinya aku akan sakit. Aku minta sebungkus tolak angin dari laci rekan kerja, membalurkan minyak eukaliptus di sekitar leher untuk menangkal AC ruangan yang selalu dingin. Meskipun sekarang sudah lebih kebal dan tidak lagi biduran, tetap saja aku merasa dingin. Sepulang kantor tercatat masih ada janji, masih ingin bertemu yang lain, terpaksa terlambat pulang dan terlambat tidur. Hingga akhir pekan tiba, ternyata masih harus berangkat ke kantor, belum

Cuek.is.me

Assalamualaikum, Tulisan ini berisi setengah curhat dan setengahnya lagi pengakuan rasa bersalah. Baru nutup telfon dari keluarga di rumah, dan sepertinya saya tersadar lagi akan satu hal yang sebenarnya saya sudah berusaha mengubahnya dari dulu tapi mungkin belum berjalan sempurna. Jadi begini, sepertinya saya termasuk orang yang jarang sekali berbicara terbuka, saya jarang sekali memulai pembicaraan kecuali penting, saya jarang sekali membuka pesan dengan segera kecuali dari orang-orang terdekat atau mereka yang beruntung saya anggap dekat, bisa juga terkait pekerjaan yang deadline nya sudah dekat, hehe. Oke, pada intinya sepertinya saya memang cuek, hiks. Bahkan di ulang tahun ke 17, mama mengirimkan pesan singkat berisi doa-doa yang di dalamnya terselip satu kalimat "semoga menjadi anak yang peduli dengan lingkungan", oke ini strike to the heart and brain. Alkisah, dulu, ketika saya sedang mengerjakan hal serius, misalnya milih sabun di supermark

Mudah Berkata Tidak

Gambar
Wahai diri Yang sulit diterka apa maunya Yang susah ditelusuri jalan perasaannya Mengapa kau ucapkan lagi Mengapa kau ulangi lagi Apakah kau masih mengingat Apakah kau sulit melihat Berulang kali hal ini kau tanyakan Berulang kali jawaban kau pastikan Berapa kali pembenaran kau lontarkan Berlandas ego berdalih penenang Tak apa, belum waktunya Tak apa, bukan orangnya Tapi dunia sudah berteriak padamu Kau tunggu apa lagi Jangan terlalu mudah berkata tidak Jangan terlalu murah kau ucap maaf Tidak kah ada dalam dirimu keyakinan Tidak kah ada dalam hatimu ketenangan Mungkin dirimu terlalu jauh Mungkin hatimu tengah mengeras Apakah kau lupa caranya memohon Apakah kau tak ingat caranya meminta petunjuk Cukupkanlah perangaimu itu Mudah berkata tidak