January 1st, 2015

Selamat malam, masih di ruangan 3 x 2,5 meter yang jadi tempat berteduh dari panas dan hujan selama beberapa tahun terakhir, di Ibu Kota dengan segala hiruk pikuknya, semakin terasa apalagi di malam pergantian tahun masehi ini.

So this is my very first post in this year. Bukan selamat tahun baru, bukan pula resolusi yang akan saya torehkan di postingan ini. Melainkan tentang mereka, orang-orang terdekat, meskipun tidak secara fisik untuk saat ini. Dan tentang kami, yang telah lama dipersatukan dalam naungan indah bernama, keluarga...

Happy 22th, Mom & Dad !

Dua puluh dua tahun yang lalu, dengan tatanan acara yang sangat sederhana, sepasang wanita dan lelaki mengikat janji. Merekalah yang sampai sekarang saya panggil Mama dan Bapak, bukan panggilan yang lain. Saya yang hanya mengenang lewat foto, pernah bertanya "Ma, deneng mama kalih bapak mboten dijejerke kaya budhe ?" Ma, kok mama sama bapak nggak dijejerin di pelaminan kayak budhe ? "Males lah, mboten seneng". Males ah, nggak suka.

Berawal dari kesederhanaan 1 Januari 1993, mereka melangkahkan kaki beriringan. Dipertemukan di sebuah sekolah menengah tempat mereka mengabdi, mencerdaskan anak bangsa. Tanpa disangka, Bapak yang saat itu telah yatim piatu berani meminta Mama secara langsung di hadapan Mbah Kung. Tidak ada yang dinamakan pacaran, mengenalpun hanya beberapa bulan. Seorang ayah yang ingin anak bungsunya hidup bahagia pun mengikuti apa kata anaknya. Sementara anaknya yang hanya mengidamkan keluarga dengan agama yang baik pun tidak menolak iktikad baik itu.

Sabar. Salah satu hal yang saya pelajari dari mereka berdua.

Belum genap setahun, saya kemudian dimandatkan oleh Allah untuk menjadi bagian di keluarga ini. Keadaan fisik yang tidak terlalu kuat, membuat saya harus rutin ke dokter anak setiap 30 hari sekali, menelan butir-butir obat dan menerima injeksi yang paling saya takuti. Kala itu keluarga masih menempati rumah di sebuah desa di pinggir kota. Sedangkan jarak dari desa kami ke tempat praktek dokter sekitar 45 kilometer. Katanya, kalau sudah demam, tandanya saya harus pergi ke tempat yang lama-kelamaan familiar itu. Ruang praktek dengan akuarium ikan arwana di dalamnya, apotek yang tidak jauh dari sana masih tergambar jelas hingga kini saya tumbuh besar dan Insya Allah sehat.

Dipikir-pikir merawat saya bukanlah hal yang mudah. Pecicilan tapi ringkih, kurang lebih seperti itu lah saya. Bayi yang paling awet nangis, sekali nangis kuat 4 jam nonstop. Susah makan dan cuma suka makan buah-buahan, sampai suatu saat demam hingga step karena terlalu banyak makan acar yang saya temukan di dapur ketika baru bisa berjalan lancar. Hingga usia 9 tahun harus dihindarkan dari benda yang bernama es, sampai teman-teman di  sekolah jadi mata-mata bapak kalau-kalau saya nyolong kesempatan minum es di kantin. Karena sekali teguk, bisa dipastikan saya dilarikan ke dokter setelahnya, hehe. Tidur siang juga jadi kewajiban saya, karena capek bisa sangat berpengaruh di badan yang kurus kering kala itu. Tapi trik jitu selalu berhasil, saya lebih suka menutupi bantal guling dengan selimut dan kemudian lari ke pekarangan, menjelajahi batang demi batang pepohonan bersama teman-teman. Terkadang menyusuri sungai dengan teman yang hampir semuanya laki-laki, tanpa ijin, sampai-sampai mama ngomel dan saya nggak dapet pintu masuk rumah. Di balik badan yang ringkih, masih ada jiwa-jiwa ingin tau yang membuat saya selalu ingin "njajal" hal-hal baru, especially to the thing that seems interesting, hehe. Alhamdulillah, setelah adik laki-laki saya lahir ke dunia, semakin hari badan ini semakin kuat dan mandiri :) Saya kecil mulai aktif lomba-lomba di SD, dan jiwa kepemimpinan kala itu lumayan ada (sekarang ke mana ya... haha). Jadi pemimpin upacara setiap Senin, jadi instrukstur senam tiap Sabtu, sampai jadi pemimpin regu tim pramuka tiap ada perlombaan atau perkemahan. Jiwa seni juga sepertinya ada entah mengalir dari mana, sering ditunjuk untuk mewakili lomba geguritan, macapat, nari Jawa juga saya jabanin sampai-sampai diajarin Bu Guru di sanggar. Saya nggak bisa nolak karena guru saya yang satu itu galaknya saingan sama bapak hehe. Dan orang tua mendukung meskipun saya terkadang tumbang juga.

Sabar yang luar biasa saya temukan pada sosok mama. Menghadapi Bapak yang tempramen juga butuh ketrampilan. Salah-salah sedikit urusannya bisa panjang. Pokoknya harus "pengerten" dan nggak usah neko-neko. Teguran dengan nada tinggi sepertinya sudah terbiasa di telinga kami, karena kami pun paham maksud bapak. Tapi kadang mama lose control juga, hehe. Beberapa kali keluarga kami ditimpa musibah besar, orang pertama yang paling menerima dan bersikap ikhlas ya mama.

Tegas, disiplin.

Bapak di balik sosoknya yang tegas, dia lah lelaki penyayang. Possesive terutama sama anak. Selalu ingin melindungi dan selalu ngalah demi kepentingan anak. Selalu royal kalau sudah nyangkut anak, dan selalu "nrimo" kalau masalah kebutuhan pribadinya. Yang saya ingat, setiap ada acara dan dapet makanan apapun itu, selalu bapak bawa pulang, tentunya buat si anak. Tapi kadang anaknya bandel, susah banget kalau disuruh makan, hehe. Misalnya ada lauk di meja makan dan itu kira-kira nggak cukup buat berempat, bapak nggak akan ambil lauk itu, ujung-ujungnya ambil kecap sama krupuk, selesai. Lagi-lagi kadang anaknya yang nggak pengertian, sampai lauknya basi juga nggak dimakan, dyeeeh. Alhamdulillah semenjak jauh dari orang tua, jadi pengertian sama makanan, pengertiaaan banget sampai-sampai berat badan naik sekian banyaknya hehehe.

Naro barang di tempatnya semula, jangan kemproh, jaga kesucian, ke kamar mandi pake sandal, pakai baju yang rapi, sepatu item disemir dulu kalau mau sekolah, kulit di-henbodi-in jangan sampe bersisik. Semua-semua itu yang selalu jadi concern bapak. "Klambi ra mesti apik, ra mesti larang, sing penting pantes, resik, rapi". Pakaian nggak harus bagus, nggak harus mahal, yang penting pantas, bersih, rapi. 

Semangat. Selalu optimis.

Sampai usianya yang sudah nggak muda lagi, mama nggak pernah kehilangan semangatnya. Semangat mengajar dan belajar. Dia aktif membina murid-muridnya, dan hobi berinovasi, terakhir kali saya dipamerin laboratoriumnya. Sawah di samping sekolah disulapnya jadi hutan bakau mini. Yang jadi pendorong saya beberapa empat tahun lalu, mama memutuskan untuk kuliah lagi. Kuliah S1 sampai tes cpns berulang-ulang yang dilalui bersama dengan jerih payah setelah menikah, tidak membuat mama kapok. Ia diterima program pascasarjana di UNS Solo. Saya paling nolak, karena membayangkan ditinggal mama setiap weekend dan harus menggantikan tugas-tugas rumah ituuuu. Tapi semuanya berjalan begitu saja. Selepas kerja, mama ngurus rumah sampai malam karena nggak ada pembantu, sering kali masih bawa-bawa kerjaan dari sekolahnya. Yang saya tau, tiap jumat malam sebelum berangkat ke Solo, mama selalu belajar. Jam 2 pagi berangkat, sampai di sana langsung masuk kelas. Lebih sering tidur daripada mendengarkan dosennya, haha. Tapi diam-diam, mama menyelesaikan tesisnya, nggak sampai dua tahun ia lulus, dengan predikat cumlaude. Kapan ngerjain itu tesis saya juga nggak liat, mungkin di saat yang lain terlelap, ia bergerilya dengan tesisnya.

Kadang saya malu, mengingat perjuangan mama. Lebih sering nyantai-nyantai dan ngeluh-ngeluh, Kalau udah kayak gitu, mama nggak segan-segan jadi motivator nyaingin Mario Teguh. Baginya nggak ada yang mustahil kalau semua berusaha, berusaha semampunya, tetap santai dan elegan, berani ambil keputusan. Kalau udah denger kalimat-kalimat mama, semua yang keliatannya berat jadi terasa jauh lebih enteng. Beberapa kata-kata dan pesan singkat yang ia kirimkan pernah saya pajang juga di kamar. Dulu muridnya yang juga teman-teman les saya sering cerita, "mamamu itu kalau ngajar pasti dikit-dikit kultum, tapi aku suka". Iyalah suka soalnya jadi lebih banyak cerita hahaha.

Ingat Allah, dan jangan lupa berdoa.

Alhamdulillah dilahirkan di keluarga yang lumayan peduli dengan agama. Ngaji nggak usah jauh-jauh, di rumah aja. Karena selalu nimbrung-nimbrung orang tua sewaktu ngajar TPQ di desa dulu, sebelum masuk sekolah sudah bisa khatam duluan. Setelah pindah ke kota pun alhamdulillah mereka masih inisiatif menghidupkan ta'mir dan pendidikan Al-Quran anak-anak kompleks. 

"Pokoke ojo lali ndonga, nyuwun karo gusti Allah, dibukakan hati dan pikirannya. Sing saking bapak wingi ampun kelalen diwoco". Pokoknya jangan lupa berdoa, minta ke Allah, dibukakan hati dan pikirannya. Yang dari bapak kemaren jangan lupa dibaca. Pernah di hari H ujian saya cuma berbekal selembar kertas kecil berisi tulisan arab gundul dari bapak, selalu saya bawa padahal sebenernya udah hafal.

Banyak hal yang terangkum di kepala, mungkin kalau dirunut kembali, akan jadi panjang dan nggak cukup satu judul postingan, hehe.

dok. pribadi



Kasih sayang Allah telah menghantarkan kita pada tahun ke duapuluh dua.  Kasih sayang Allah telah menyatukan kita dalam sebuah lingkaran kecil bernama keluarga…. Engkaulah Bapak, yang mengajarkan arti kesederhanaan dan ketegasan. Engkaulah Mama, yang mengajarkan kami untuk selalu optimis dan berhati lapang. Bukanlah Bapak, jika ia jemu mengingatkan kami berdoa dan berusaha hingga angan-angan ada dalam genggaman.  Bukanlah Mama, jika ia lelah mendengar keluh kesah, mendampingi tiap jejak langkah kami dengan senyum dan harapan.Janji kami putra-putrimu, dengan izin Allah, suatu saat nanti akan mengukir senyum di wajahmu. Doa kami putra putrimu, semoga kasih sayang-Nya terus mengalir bak sungai yang tak pernah kering, menerobos ajal, hingga bermuara pada keindahan taman surga-Nya yang  kekal. Allahumma Aamiin.
1 Januari, 2015.Putra lan putri ingkang unyu-unyu.





Komentar

  1. Kok jadi melankoli mbacanya ya... aku cedihhhh...

    btw... selamat tahun baru otunsky!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha duh gagal nih padahal maunya gembira -_-
      sip dah masamar!!

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

17 Fakta Terungkap Setelah 17 Tahun

THOMAS RAMDHAN : Nggak Pake Lima Senar? Siapa Takut !

Armand Maulana, artis yang punya fans artis